Sementara itu Tri Yuswidjajanto Zaenuri menjelaskan, FAME dari esterifikasi CPO memiliki beberapa sifat. Misalnya sifat higroskopis (menyerap air), detergency atau sifat pelarutan terhadap deposit yang ada di tangki bahan bakar hingga ke saluran bahan bakar yang menyebabkan kotoran menyangkut di filter dan terjadi proses sumbatan, tingkat oksidasi tinggi yang memicu deposit, dan nilai kalor FAME sebesar 37 MJ/kg lebih rendah dibandingkan solar 43 MJ/kg.
Selain itu, biodiesel memiliki viskositas (kekentalan) lebih tinggi yaitu sebesar 4,15 mm2/s dibandingkan dengan solar sebesar 3,25 mm2/s. Ketika diinjeksi maka kabutnya lebih besar. Solar habis terbakar dan FAME tidak habis terbakar sehingga sebagian terbawa oleh blow by gas turun ke crankcase (bagian mesin), dan masuk ke dalam pelumas.
Di sisi lain, menurutnya, dengan viskositas pelumas lebih tinggi dibandingkan dengan FAME sehingga dengan masuknya FAME menyebabkan pelumas makin encer. Oleh sebab itu, pelumas justru menjadi lebih licin karena seperti mendapatkan aditif anti-friction melalui FAME tersebut.
“Sehingga sampai sekarang nggak ada keluhan soal oli dari teman-teman pengguna B35 di lapangan. Ganti oli tetap normal 250 jam atau 500 jam saja. Tapi, mereka mengeluh masalah ganti filter jadi lebih sering, power loss [kehilangan tenaga], interval injector service menjadi lebih cepat, bahan bakar lebih boros. Karena itulah di lapangan sangat jarang mendapatkan keluhan terkait pelumas,” tutur Tri.
Lebih jauh dijelaskan, di dalam pompa bahan bakar, semua komponennya dilumasi bahan bakar tidak ada yang dilumasi dengan pelumas. “Seharusnya tidak ada keluhan soal pelumas terkait dengan bahan bakar B35.”